Sabtu, 26 April 2014

Misteri Di Bendungan Kali Gending

BENDUNGAN KALI GENDING


Gending Lukonoto
, yang hanya bisa didengar suaranya tanpa ada wujud aslinya, mengantarkan Danang Sutawijaya sampai ke daerah pesisir Urut Sewu Kebumen. Suara gending (gamelan) yang masih terdengar merdu itu terus diburu hingga berhenti di suatu tempat.
Danang Sutawijaya yang merupakan anak dari Ki Ageng Pemanahan itu merupakan pendiri Desa Mataram. Dia memiliki nama lain Raden Ngabei Loring Pasar juga menjadi anak angkat Raja Pajang, Hadiwijaya. Setelah ki Ageng Pemanahan wafat, Danang Sutawijaya mengubah desa tersebut menjadi kerajaan Mataram. Lokasinya berada di Kota Gede.Hadi Wijaya naik tahta sebagai Raja Pajang pada tahun 1549 setelah kematian Arya Penangsang yang dibunuh Danang Sutawijaya. Terdengarlah suara gamelan yang memecah lamunan Danang Sutawijaya. Pada dirinya lantas bergejolak.Danang Sutawijaya mencari asal suara tersebut, namun tidak ada yang mengetahuinya. Suara gamelan itu masih membuai genderang telinganya. Sesaat kemudian, ada suara bernada perintah untuk mengikuti arah bebunyian gamelan tersebut. Suara itu juga memberitahukan tentang Lukonoto, sebutan untuk gamelan gaib tersebut. Tanpa berpikir lama, Danang Sutawijaya pun mengikuti suara gending yang tiada henti bersahut-sahutan tersebut. Dia lantas memutuskan untuk melanglang buana sembari mengikuti iringan suara gamelan gaib itu.Danang Sutawijaya didampingi Ki juru Mertani yang memiliki nama lain Mertoloyo serta Tumenggung Alap – alap yang memiliki nama lain Wonoboyo. Tiga punggawa kerajaan lainnya yang juga ikut mendampingi, seperti Mbah Ebreg, R. Saparman dan Ki Noyoguno. Menantang ArusPerjalanan panjang mengikuti suara gamelan itu sampailah di pesisir Urut Sewu Kebumen. Di Pantai Logending, yang kini masuk kecamatan Ayah Kebumen, suara gamelan itu ternyata menuju ke arah Utara. Danang Sutawijaya pun mengikutinya.Di sebuah sungai yang kini bernama Luk ULa, rombongan kerajaan Mataram itu naik perahu. Mereka ternyata menantang arus untuk mengikuti suara gamelan tersebut. Hingga di suatu tempat, suara gending itu berhenti. “Setelah suara gending berhenti, Danang Sutawijaya kemudian bubak alas (membuka hutan) dan menjadikannya desa yang diberi nama Kaligending, “ kata sesepuh Desa Kaligending, Kecamatan Karangsambung, Kebumen, Karsono yang didampingi Pardi.Kisah Turun temurun bedirinya Desa kaligending itu dijadikan masyarakat setempat untuk menggelar merdi Bumi (selamatan bumi). Waktu yang digunakan yakni pada Sura Jumat Kliwon. “ Kalau di bulan itu tidak ada Kliwon, maka yang diambil Jumat Manis,” katanya.Merdi bumi dengan kesenian tayub itu diiringi gending. Petilasan Danang Sutawijaya hingga kini masih dirawat masyrakat setempat. Warga membuatkannya sebuah bangunan kecil yang tertera angka 1842. Sekitar lokasi tersebut dijadikan tempat pemakaman umum. “ Bangunannya, saat ini sudah rapuh dan perlu direhab. Kami berharap ada bantuan dari Pemerintah,” kata Karsono.Praktisi Sejarah Kebumen, Ravie Ananda mengatakan, hubungan kerajaan Pajang dan Mataram sempat berkecamuk hingga terjadi pertempuran sengit antara Hadiwijaya dan Danang Sutawijaya. Ayah dan anak angkat itu pun bertempur dan berusaha saling bunuh.Hingga akhirnya, Danang Sutawijaya berhasil memenangkan pertempuran. Dan, Hadiwijaya terbunuh. Selanjutnya, Danang Sutawijaya mendirikan kerajaan mataram Islam. Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati. Dia memerintah tahun 1587-1601 dan wafat tahun 1601 di Desa Kajenar. Kemudian dimakamkan di Kotagede bersama dengan ayahandanya Ki Ageng Pemanahan. (Arif Widodo – Suara Merdeka Cetak; Rabu, 5 Januari 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Blog Ahmad Fauzi. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator